Pages

Rabu, 20 Maret 2013

WALI ALLAH JALLA WA `ALAA VS WALI SYAITHAN

WALI ALLAH JALLA WA `ALAA VS WALI SYAITHAN

Selasa, 03-Juli-2007
Penulis: Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul – Akmal as Salafiy Lc

Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib, padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah Subhaana wa Ta`ala saja yang mengetahuinya, memang terkadang hal itu ditampakan pada sebagian RasulNya `Alaihis Sholaatu was Sallaam, jika Dia menghendakinya, seperti Allah `Azza wa Jalla tampakan kepada RasulNya surga, neraka, serta para penghuninya
Allah berfirman :

((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولاهم يحزنون. الذين آمنوا وكانوا يتقون)). يونس (62-63).



Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu, tidak kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” Yuunus (62 – 63).



Ayat diatas mengandung pengertian bahwa wali Allah adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat, ia berdo’a hanya kepada Allah `Azza wa Jallaa semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, terkadang tampak padanya karomah ketika sedang dibutuhkan, yaitu karunia Allah Ta`aala yang diberikan kepada wali-Nya, berupa perkara perkara yang ada diluar kebiasaan manusia, yang demikian itu bisa terjadi akan tetapi ia tidak diminta untuk mendapatkanya, atau mempelajari wirid atau dzikir dzikir tertentu untuk mendapatkannya, dan tidak pula dikatakan seorang wali, yang dapat berjalan diatas air atau berada disuatu tempat dengan tiga wajah atau sepuluh, sebagaimana pengakuan kaum-kaum tharekat, shufiyah yang sesat dan menyesatkan.



Padahal Imam Ibnu Katsir telah menyatakan :

إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء أو يطير في الهواء فلا تصدقوه ولا تغتروا به حتى تعلموا متابعته للرسول صلى الله عليه وسلم."

“Apabila kamu melihat seorang laki laki berjalan diatas air atau terbang di udara, janganlah kalian benarkan dia, dan jangan kalian mudah tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui sejauh mana ittiba`nya terhadap Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam.”[1]



maka dari sini ada isyarat apabila kita melihat seorang yang tidak mempan dibacok, bisa terbang di udara, atau hilang dan tiba tiba muncul disuatu tempat, jangan langsung kita mempercayai kejadian atau perbuatan dian yang demikian, namun kita perhatikan Din (Agama)-nya, kalau dia seseorang yang sangat senang kepada kesyirikan, perdukunan, atau dian merupakan salah seorang yang berkerja sama dengan jin, atau dian merupakan peng`ibadat jin dan syaithon, pelaku bid’ah dan segala bentuk kema`siatan maka ia adalah wali syetan.



Salah satu contoh wali Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang benar benar wali adalah sahabat yang mulia Amirul Mu`miniin `Umar bin Khatthaab radhiallahu `anhu yang pada saat itu mengutus Amru bin al `Ash menjadi guberbur di Mesir, disana terdapat sungai Nil, dimana setiap tahunnya masyarakat Mesir memberikan tumbal seorang gadis perawan, agar sungai tadi bisa mengalir dan berjalan airnya dengan baik untuk pengairan irigasi mereka, sebab menurut pengakuan mereka sungai Nil tersebut tidak bisa berjalan dengan baik sebelum mendapatkan tumbal tersebut. Oleh karena itu, `Amru bin al `Ash radhiallahu `anhu menulis surat kepada Amirul Mu`miniin `Umar bin Khatthaab radhiallahu `anhu, maka `Umar bin Khatthaab pun membalas surat tersebut, yang berbunyi:

"من عبد الله عمر أمير المؤمنين إلى نيل أهل مصر أما بعد : فإن كنت إنما تجري من قبلك ومن أمرك فلا تجر، فلا حاجة لنا فيك، وإن كنت إنما تجري بأمر الله الواحد القهار وهو الذي يجريك فنسأل الله تعالى أن يجريك."



Artinya : “Dari `Abdullah `Umar amiiril mu`miniin kepada sungai nil penduduk Mesir adapun selanjutnya : “Wahai sungai nil kalau kamu berjalan dan mengalir sesuai dengan kehendakmu maka janganlah engkau berjalan atau mengalir, sebab kami tidak ada hajat padamu, akan tetapi hanyasanya mengalirnya kamu adalah semata mata perintah Allah al Waahidul Qahhaar, dan Dialah memerintahkan kamu untuk mengalir, maka kami meminta pada Allah Ta`aalaa untuk menjalankan kamu.”[2]



Maka `Amru bin al `Ash radhiallahu `anhu, cukup surat tadi dibacakan saja ditepi sungai tersebut lalu beliau lemparkan ke sungai Nil, maka dengan izin Allah Jalla wa `Alaa, sungai Nilpun mengalir dengan lancar dan baik, bahkan lebih lancar dari sebelumnya. Demikian pula seperti karamah Maryam ketika ia mendapatkan rizki berupa makanan dirumahnya.



Maka, wilayah (Kewalian) memang ada, tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mu`min, ta`at dan meng Esakan (mentauhidkan) Allah Jalla DzikruHu. Karomah juga tidak menjadi satu syarat bagi seseorang untuk disebut dia sebagai wali, sebab syarat yang demikian tidak tercantum didalam al Qur’an dan as Sunnah.



Kewalian itu tidak mungkin terjadi pada seseorang fasiq atau musyrik yang


berdo’a serta memohon kepada selain Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa. Sebab hal itu termasuk `amalan `amalan orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang dimuliakan ??

Kewalian juga tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal sholihnya.



Apa yang tampak pada sebagian ahli bid’ah seperti memukul mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah perbuatan syaithon. Yang demikian itu bukan karamah tetapi Istidraaj (tipuan) agar mereka semakin jauh tenggelam dalam kesesatan.



Allah berfirman :



((قل من كان في الضلالة فليمدد له الرحمن مدا...)). مريم (75).



Artinya : “Katakanlah, barang siapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Allah yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya.” Maryam (75).



Berkata al Imam as Sa`dy rahimahullahu Ta`aalaa : “Telah disebutkan hujjah mereka yang bathil, yang menunjukkan kerasnya pembangkangan mereka, serta kuatnya kesesatan mereka, Allah `Azza wa Jallaa mengkhabarkan bahwasanya siapa saja yang berada di dalam kesesatan, dengan meredhoi kesesatan itu untuk dirinya, dan dia berusaha padanya, maka sesungguhnya Allah Subahaana wa Ta`aalaa akan memperpanjang temponya dalam kesesatan tersebut, dan ditambahkan rasa cintanya padanya, sebagai hukuman baginya atas pilihannya terhadap kesesatan itu daripa petunjuk Allah Ta`aalaa.”



Mereka yang pergi ke Iran , akan menyaksikan orang-orang majusi lebih dari itu, diantaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya apapun, padahal mereka adalah orang orang kafir.



Islam tidak mengakui berbagai perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, juga tidak di`amalkan oleh para sahabatnya. Seandainya di dalam perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya dari pada kita.



Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib, padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah Subhaana wa Ta`aalaa saja yang mengetahuinya, memang terkadang hal itu ditampakan pada sebagian RasulNya `Alaihis Sholaatu was Sallaam, jika Dia menghendakinya, seperti Allah `Azza wa Jalla tampakan kepada RasulNya surga, neraka, serta para penghuninya. Allah berfirman :



((عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا. إلا من ارتضى من رسوله...)). الجن (26-27).

Artinya : “Dialah Allah Yang Mengetahui yang ghaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.” Al-Jin : ( 26 – 27).



Dengan tegas, ayat diatas mengkhususkan para Rasul, dan tidak menyebutkan yang lain, sebahagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun diatasnya kubah adalah wali, padahal bisa jadi kuburan tersebut didalamnya adalah orang fasiq, atau bahkan mungkin tidak ada manusia yang dikubur didalamnya.



Membangun sesuatu bangunan diatas kuburan adalah diharamkan oleh Din Islam dalam sebuah hadist shohih ditegaskan :



عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال : "نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر. وأن يقعد عليه. وأن يبنى عليه."



Artinya : Dari Jaabir bin `Abdillah al Anshooriy radhiallahu `anhu berkata : “Rasuulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam telah melarang mengapur kuburan atau duduk di atasnya, atau dibangun sesuatu diatasnya.”[3]



Seorang wali bukanlah yang dikuburkan didalam masjid, atau yang dibangun diatas kuburannya bangunan atau qubbah, hal ini justru melanggar ajaran syari’at Islam, demikian pula mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syar’iy atas kewalian dia, bahkan bisa jadi ia (mimpi tersebut) adalah bunga tidur yang berasal dari syaithan. Allahu A`laamu bisshowaab.









TAFSIR

CIRI-CIRI WALI ALLAH




Allah berfirman :



((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون. الذين آمنوا وكانوا يتقون.لهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة لا تبديل لكلمات الله ذلك هو الفوز العظيم)). يونس (62-64).



Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa) bagi mereka berita gembira didalam kehidupan didunia dan akhirat, tidak ada perobahan bagi kalimat kalimat atau janji-janji Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Yunus :( 62 – 64)



Makna ayat :

Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa telah mengkhabarkan tentang wali wali-Nya dan orang orang yang dicintainya-Nya, Allah menyebutkan amalan amalan dan sifat-sifat mereka, serta ganjaran yang mereka peroleh, dimana Allah berfirman:

((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم)). يونس (62).



Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu tidak ada kekhawatiran atas mereka,” terhadap apa apa yang mereka hadapi dimasa akan datang dari bentuk bentuk ketakutan ancaman ancaman. “Dan tidak pula mereka merasa bersedih,” atas apa yang telah mereka lalui, dikarenakan tidaklah berlalu dari mereka kecuali `amalan yang shoolih, sehingga dengan demikian tidak ada kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih, telah ditetapkan bagi mereka keamanan, kebahagian dan kebaikan yang amat banyak untuk mereka, tidak ada yang mngetahuinya kecuali Allah Ta’aalaa.



Kemudian Allah `Azza wa Jallah menyebutkan sifat sifat mereka :

((الذين آمنوا)



“Yaitu orang-orang yang beriman,” dengan Allah Ta`aalaa, malaikat malaikat-Nya, kitab kitabNya, para rasul-Nya, hari kiamat, taqdir yang baik maupun buruk, dan mereka buktikan keimanan mereka tadi dengan melakukan ketaqwaan kepada Allah Jalla wa `Alaa dengan cara melaksanakan segala perintah Nya serta mejauhi segala bentuk larangan-Nya.



Maka setiap orang yang beriman lagi bertaqwa, dia adalah wali Allah Subhaana wa Ta`aalaa.

((لهم البشري في الحياة الدنيا وفي الآخرة))

”Bagi mereka berita gembira didalam kehidupan dunia dan akhirat.”

Adapun khabar gembira didunia yaitu pujian yang baik, dan kasih sayang dihati hati orang yang beriman, dan mimpi mimpi yang baikh, dan apa apa yang dilihat oleh hamba tersebut bentuk kelembutan Allah dengannya, serta Allah mudahkan baginya untuk melakukan amalan dan akhlak yang baik, dan juga Allah palingkan darinya akhlak akhlak yang jelek, dan apapun diakhirat maka khabar gembira yang paling pertama didapat ketika Allah mencabut nyawa mereka, sebagaimana Allah berfirman :



((إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقامو تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون)).



Artinya : “Sesungguhnya orang orang yang mengatakan “Rab kami adalah Allah; “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan :” Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” Fushilat :( 30). Di dalam kubur mereka mendapat keridhoaan Allah dan kenikmatan tinggal didalamnya.



Diakhirat mendapatkan kesempurnaan khabar gembira tersebut, dimana Allah Ta`aalaa akan memasukannya kedalam Jannatun na`iim dan diselamatkan dari pada adzab yang pedih.

((لا تبديل لكلمات الله))

“Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah,” bahkan apa yang dijanjikan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa pasti benar, tidak akan pernah berubah, tidak akan berganti, sebab Allah Jalla wa `Alaa Maha Benar atas apa yang diucapkan-Nya, yang seorangpun tidak akan pernah mampu untuk menyelisihi apa yang telah ditetapkan-Nya.

((تلك هو الفوز العظيم))




“Yang demikian itu adalah kemenangan yang benar,” sebab terkandung di dalamnya keselamatan dari setiap malapetaka, dan memperoleh segala keinginan yang dicintainya, inilah kemenangan yang hanya diharapkan oleh orang orang beriman lagi bertaqwa tidak ada yang lain mereka harapkan.

Walhasil, khabar gembira tersebut mencakup segala kebaikan dan pahala, yang Allah Ta`aalaa telah menetetapkan di dunia dan di akhirat bagi orang beriman dan bertaqwa. Hal demikian itu mutlak bagi mereka, dan tidak secara terikat.”[4]





HADIST
KEUTAMAAN WALI WALI ALLAH

Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah bersabda :



"إن الله قال : من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه، وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها، وإن سألني لأعطينه، ولئن استعاذني لأعيذنه."




Artinya : “Sesungguhnya Allah Ta’aalaa berkata : “siapa saja yang telah memusuhi wali-Ku maka sungguhnya aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih aku cintai dari apa yang telah aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga aku mencintainya, maku jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan, dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti aku akan melindunginya.”[5]




MAKNA HADIST




Berkata al Imam an Nawaawiy : “Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda dari Rabbnya `Azza wa Jalla berkata : “Barang siapa yang telah memusuhi wali-Ku maka sungguhnya aku telah menyatakan perang kepadanya.” Yang dimaksud wali disini adalah orang orang beriman, Allah berfirman :

((الله ولي الذين آمنوا)). البقرة (257).



Artinya : “Allahlah wali bagi orang-orang beriman.” Al-Baqarah : (257), barang siapa yang memusuhi orang orang yang beriman maka sungguh Allah Subhaana wa Ta`aalaa telah nyatakan perang dengannya maksudnya Allah memberitahukan bahwasanya dialah yang memeranginya, demi Allah, apabila Allah telah memerangi seseorang hamba maka binasalah ia, maka hendaklah hati-hati setiap insan untuk mengolok olokkan setiap muslim.

“Dan tidaklah seorang hambaku mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih aku cintai dari apa yang telah aku wajibkan kepadanya.”



Di dalamnya terdapat dalil bahwa melakukan amalan wajib lebih utama daripada nawaafil (`amalan `amalan sunnah. `Amalan `amalan sunnah yang disebut di dalam hadist; ganjaran `amalan wajib lebih besar atas ganjaran `amalan `amalan sunnah 70x.

Allah `Azza wa Jallaa berkata dalam hadist tersebut : “Dan senantiasa seorang hambaku mendekatkan diri kepadaku dengan `amalan sunnah hingga aku mencintai,” berkata Ibnu Daqiiqil `Ied rahimahullahu : “Karena mendekatkan diri kepada Allah Jalla wa `Alaa dengan `amalan `amalan sunnah yang ia pengiring `amalan kepada wajib, dan ketika seorang hamba tadi konsisten dengan hal tersebut sampai mengantarkan cinta Allah Ta`aalaa kepadanya.

Allah berkata dalam hadist ini : “Jika aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar.” Berkata al Imam Ibnu `Utsaimin : artinya : “Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa menutup segala yang ia dengar, sehingga tidaklah ia mendengar melainkan kebaikan baginya.”

Demikian juga sebagaimana disebutkan dalam hadist; “Sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat.” Artinya Allah Ta`aalaa menutup segala yang ia lihat, sehingga tidaklah ia melihat melainkan kebaikan saja padanya.”

“Sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat.” Artinya : Bahwasanya Allah Ta’ala menutup segala perbuatan tangannya sehingga tidaklah ia mengambil dan berbuat dengan tangannya melainkan kebaikan.”

“Sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” Artinya : “Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa membatasi seluruh langkahnya, sehingga tidaklah ia berjalan melainkan hanya untuk kebaikan.”








FIQH : SIFAT WUDHU NABI SAW

1. Niat


Niat adalah tekadnya hati untuk melaksanakan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah ta’ala dan rasulnya shalalhu a’alaihi salam.

Berkata Ibnu Taimiyah Rahimullah : letak niat itu dihati bukan dengan lisan telah sepakat seluruh imam kaum muslimin dalam segala perkara ibadah : tharah, shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak, jihad dan selainnya. Seandainya apa yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang diniatkan maka yang dianggap adalah apa yang dia niatkan. Bukan yang diucapkan begitu pula seseorang berniat dengan lisan, tidak dengan hatinya yang demikian itu tidaklah syah, dengan kesepakatan para ulama kaum muslimin, sebab niat itu merupakan kategori maksud dan tekad, sebagaimana orang menyebutkan : Allah menghendaki kamu dengan kebaikan. Sebagaimana yang telah dijelaskan Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam didalam shahih al Bukhari dan muslim dari hadist `Umar ibnul Khatthaab radhiallahu `anhu :

"إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى...."

Artinya : “Sesungguhnya `amalan `amalan itu tergantung dengan niat, dan setiap pribadi manusia tergantung dengan apa yang dia niat.”[6] lihat sifat wudhu Nabi SAW karya Fahb bin Abdur-rahmaa Ad-Dae’sry, Maktabah Ibnu Taymiyah Al-Kuwait diterjemahkan Abu Zubair Aceh).









[1] Lihat kitab “A`laamussunnatil Mansyuurah Li`tiqaaditthooifatun Naajiyyatul Manshuurah”, hal. 255 karya as Syaikh Haafidz bin Ahmad al Hakamiy wafat 1377 H, cetakan keempat tahun 1316H/1996M, maktabatur rusyd ar Riyaadh. Berkata al Imam Haafidz : “Perkataan al Imam as Syaafi`iy ini telah ditampilkan oleh al Imam Ibnu Katsiir rahimahullahu Ta`aalaa dalam tafsirnya yang lafadznya sebagai berikut :

"وقد قال يونس ابن عبد الأعلى الصدفي قلت للشافعي : "كان الليث بن سعد يقول : "إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة،" فقال الشافعي :"قصر الليث رحمه الله بل إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء ويطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة."

Artinya : Sesungguhnya Yuunus ibnu `Abdil A`laa as Shodafiy telah berkata, saya berkata kepada as Syaafi`iy : al Laiits bin Sa`ad berkata : “Apabila kamu melihat seorang laki laki berjalan di atas air jangan kalian mudah tertipu dengannya, sampai kalian betul betul mencocokan perbuatannya dengan al Kitab dan as Sunnah,” kemudian al Imam as Syaafi`iy berkata : “Kurang perkataaan al Laiits rahimahullahu, bahkan apabila kamu melihat seorang lelaki………………, sebagaimana arti di atas. Lihat : “Tafsiir ibnu Katsiir” (1/78) dan “Syarhul `Aqiidatut Thohaawiyyah”, hal. 573.

[2] Lihat kitab “A`laamussunnatul Manshuurah”, hal. 252-253.

[3] Hadist ini dikeluarkan oleh : al Imam Muslim di “shohihnya” (2/667 no. 970), at Tirmidziy (3/368 no.1052), an Nasaaiiy (3/392 no.2028), Ibnu Maajah (1/498 no.1562), Ahmad di “musnadnya” (3/295,332,399). Seluruhnya dari jalan Jaabir bin `Abdillah al Anshooriy radhiallahu `anhu.

[4] Tafsiir “Taisiiril Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan”, hal. 324, cetakan pertama 1999M/1420-Muassasatur Risaalah Beirut Lebanon .

[5] Hadist ini dikeluarkan oleh al Imam al Bukhaariy (7/243 no.7502), as Syaikh al Albaaniy di “shohihnya” (4/183 no.1640).

[6] Hadist ini dikeluarkan oleh : Al Bukhaariy di “shohihnya” no.(1,54,2529,3898,5070,6689,6953), Muslim di “shohihnya” no. 1907. Abu Daawuud no. 2201. At Tirmidziy no. 1647. An Nasaaiiy no.(75,3437,3803), Ibnu Maajah no.4227. Ahmad (1/25). Al Baghawiy di “Syarhus Sunnah” (1/54,299). At Thobaraaniy di “Al Ausath” (1/17 no.40), (7/123 no.7050). Al Baihaqiy di “As Sunanus Shoghiir” (1/22) dan di “As Sunanul Qubraa” (1/68,445 no.181,1422), (2/22 no.2254),(4/188-189 no.7370),(5/60 no.8992),(6/538-539 no.12907),(7/558 no.14996), dan di “Syu`abul Iimaan” (5/336 no.6837). Ibnu Hibbaan di “shohih Ibnu Hibbaan” (2/113-116 no.388,389). Al Humaidiy di “Al Musnad” (1/16-17 no.28). At Thohaawiy di “Syarh Musykilil Aatsaar” (13/106 no.5107). Al Khathiib Al Baghdaadiy di “Taarikh baghdaad” (4/244), (9/346). Abu Nu`aiim di “Hilyatul Auliyaa” (8/42). Abu Daawuud At Thoyaalisiy, lihat “Mihnatul Ma`buud fii Tartiib Musnad At Thoyaalisiy Abi Dawuud” (2/27).

Sumber : Buletin : Ta’zhiimussunnah . no. 2
Diterbitkan oleh: Yayasan Ta'zhiimussunnah
Cabang Duri: Jl. Harapan Baru Ujung Sebanga, Duri.
Penesehat : Al Ustadz Abul Mundzir Dzulakmal, Lc. Pimp. PON-PES "TA'HZIIMUSSUNNAH" Pekenbaru - Riau
Redaktur: Abu Zubair Aceh (081362257751), Abu Abdullah Sukijan (08127509517), Abu Syuhaib Tambusai BDS (085265234491).
eMail: anshori1971@yahoo.com, telaga-kautsar@inbox.com

0 komentar:

Posting Komentar